PENDEKATAN NON POSITIFISTIK
C.A Van Peursen
Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen pengampu: Dr. Usman
Disusun oleh:
Ahfash
Tontowi (15410170)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016
Daftar
Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang berusaha mencari kebenaran telah memberikan banyak pelajaran,
misalnya tentang kesadaran, kemauan, dan kemampuan manusia sesuai dengan
posisinya sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan untuk
diaplikasikan dalam kehidupan.
Dalam dunia filsafat terdapat beberapa pendekatan guna
mengetahui kebeneran dari suatu gejala yang muncul. Mulai dari pendekatan non
ilmiah hingga yang ilmiah. Diantara
banyaknya pendekatan itu ada pendekatan positivistik dan non-positivistik. C.A
van Peursen adalah salah seorang filsuf yang menyumbangkan pemikirannya dalam
dunia filsafat tentang pendekatan non positivistik. Lebih tepatnya ia
mengkritisi pendekatan positivistik dengan argumennya sehingga ia disebut
sebagai tokoh filsuf non-positivistik tersebut.
Maka dari itu,
penulis ingin memahami filsafat dan bagaimana kritik sang tokoh C.A van peursen
tersebut terhadap pendekatan positivistik dalam kaitanya untuk mencari
kebenaran suatu pengetahuan, dan kemudian menulisnya menjadi makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, timbulah beberapa
pertanyaan berkaitan dengan pembahasan dalam makalah ini, diantaranya :
1.
Apa itu filsafat ilmu ?
2.
Apa itu aliran
Positivistik?
3.
Bagaimanakah pendekatan non positivistik menurut C.A van
Peursen ?
C.
Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah yang berjudul “Pendekan
Ilmiah Non-positifistik C.A van Peursen” ini adala sebagai berikut
1.
Memahami apa itu filsafat ilmu, mulai dari pengertian,
objek kajian, hingga tujuan mempelajarinya.
2.
Memahami apa itu aliran filsafat positivistik.
3.
Memahami bagaimana pendekatan non-positivistik menurut
C.A van Peursen.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Ilmu
a. Pengertian
Filsafat ilmu terdiri
dari dua kata yang memiliki definisi atau pengertian masing-masing. Kata
pertama adalah filsafat, telah kita ketahui besama pengertian filsafat pada
pelajaran sebelumnya mengenai filsafat umum. Filsafat adalah proses berfikir
secara radikal, sistematik, dan universal terhadap segala yang ada dan mungkin
ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti berfikir secara radikal ( mendasar,
mendalam sampai ke akar-akarnya ), sistematik ( teratur, runtut, logis, dan
tidak serampangan ), untuk mencapai kebenaran universal ( umum, integral, dan
tidak khusus serta tidak parsial ).[1]
Kata yang kedua
adalah ilmu, secara etimologis ( bahasa ) ilmu dapat dirujuk pada kata Al-‘ilm
( Bahasa Arab ), science ( Bahasa Inggris ), watenschap ( Bahasa belanda, atau
wissenschaf ( Bahasa Jerman ) yang keragaman istilah ini menunjukkan kepada
kita bahwa setiap negara atau bangsa memiliki pemahaman tentang ilmu. Menurut
Stefanus ilmu adalah serangkaian aktivitas manusia yang rasional dan atau
aktivitas penelitian dengan menggunakan metode ilmiah, sehingga menghasilkan
kumpulan pengetahuan yang sistematis, teknologi dan seni mengenai gejala
kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran,
memberi penjelasan, dan melakukan penerapan[2]
( Stefanus, filsafat hlm.42.)
Berdasarkan definisi
filsafat dan ilmu diatas dapat kita simpulkan bahwa filsafat ilmu adalah
aktivitas berfikir secara radikal, sistematik, dan universal yang bertanggung
jawab atas suatu ilmu untuk mencari sebuah kebenaran.
b. Objek
Kajian
Setiap disiplin ilmu
memiliki objek kajian yang berbeda beda, tetapi pada dasarnya objek kajian ilmu
adalah objek formal dan material. Yang menyebabkan perbedaan ilmu adalah objek
formalnya, sehingga dari satu objek material dapat menjadikan munculnya
beberapa disiplin ilmu. Contohnya adalah manusia yang sebagai objek material,
bila manusia dipelajari hubungannya dengan alam sosial maka munculah ilmu
sosiologi, bila yang dipelajari adalah pada aspek kejiwaan dan pola dari
tingkah lakunya untuk mengetahui kepribadiannya maka munculah ilmu psikologi,
bila manusia dipelajari pada aspek organ tubuh dan sistem sistem yang berjalan
dalam tubuh manusia maka munculah ilmu biologi dan lain sebagainya.
Objek material dari
filsafat ilmu ini adalah ilmu pengetahuan, sedang objek formalnya adalah
filsafat. Karena itu, filsafat ilmu mempertanyakan dan mengkaji hal hal
mendasar, fundamental, dan hakiki dari ilmu pengetahuan. Pertanyaan mendasar
dan fundamental yang akan dikaji filsafat ilmu untuk mencarri jawaban adalah
apa itu ilmu? Bagaimana metode memperoleh ilmu? Apa fungsi dan tujuan ilmu?
Ketiga pertanyaan ini dalam filsafat ilmu dikenal dengan istilah ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ketiga aspek inilah yang akan menjadi wilayah
kajian filsafat terhadap ilmu.[3]
c. Tujuan
mempelajari filsafat ilmu
Filsafat ilmu berusaha mengkaji
hal tersebut guna menjelaskan hakekat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan,
sehingga dapat diperoleh pemahaman yang padu mengenai berbagai fenomena alam
yang telah menjadi objek ilmu itu sendiri, dan yang cenderung terfragmentasi.
Untuk itu filsafat ilmu bermanfaat untuk :
1.
Melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu
2.
Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu
3.
Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa
ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran
4.
Menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang
lain di luar bidang ilmunya.[4]
d. Aliran kefilsafatan
modern
Beberapa aliran filsafat modern yang terkenal diantaranya
adalah positivisme, neopositivisme, hermeneutik, strukturalisme, holisme, dan
teori sistem.
B.
Filsafat Ilmu : Positivisme
Positivisme mencakup
berbagai aliran yang memandang ilmu-ilmu positif sebagai kriteria tertinggi
bagi suatu diskusi rasional tentang pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan
pengetahuan manusia, tetapi, sering juga, tentang pertanyaan-pertanyaan
berkenaan dengan masyarakat.[5]”Ilmu-
ilmu positif” yang dimaksud adalah ilmu-ilmu yang yang hanya bersumber pada
fakta fakta yang dapat dikonstatasi (ditetapkan) sehingga muncul keajegan
keajegan yang dapat dikontrol oleh logika. Keajegan-keajegan meletakkan
suatu perkaitan yang empirikal.
“Empirikal” maksudnya perkaitan itu dapat dikonstatasi melalui pengamatan dan
percobaan. Misalnya adalah seseorang yang mengkonstatasi dua fakta, fakta
pertama adalah “angin bertiup”, dan fakta kedua adalah “kincir angin berputar”.
Pada kedua fakta ini seseorang harus sampai pada penalaran logika dan mengaitkan
kedua fakta sehingga muncul keajegan. Misalnya menggunakan “Jika...,Maka....”,
dengan ini akan timbul keajegan “Jika angin bertiup, maka kincir angin
berputar”.
Pada abad yang lalu (
abad 19 ), pemikir Perancis August Comte ( 1798-1857 tokoh terpenting yang
mendirikan faham positivisme ini ) merancang sebuah sistem akbar filsafat
“positif”. Didalamnyaq ilmu ilmu yang berkaitan dengan metode ilmu alam
mewujudkan kultur tertinggi pada perkembangannya.[6]
Filsafat positifisme ini bersifat anti-metafisis, artinya ia hanya menerima
fakta-fakta yang bersifat positif-ilmiah. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir ( mengetahui supaya
siap untuk bertindak), artinya manusia harus meneliti gejala-gejala dan
hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang
akan terjadi.[7]
C.
Pendekatan Non-Positivistik oleh C.A Van
Peursen
a. Biografi
Cornelis Anthonie Van
Peursen dilahirkan tanggal 8 Juli 1920 di negeri Belanda. Belajar Hukum dan
Filsafat di Universitas Negeri di Leiden. Tahun 1948 mencapai gelar Doktor
Filsafat. Tahun 1948-1950 menjabat wakil ketua hubungan internasional pada
kementerian Pendidikan Belanda. Tahun 1950-1953 Lector Filsafat pada
Universitas Negeri di Utrecht, 1953-1960 Guru Besar Filsafat pada Universitas
Negeri di Groningen, dan sejak tahun 1960 di Universitas Negeri di
Leiden. Selain itu sejak tahun 1963 Guru Besar Luar Bi asa dalam Ilmu
Epistemologi pada Universitas Kristen di Amsterdam (VU). Pernah memberikan
kuliah tamu di Oxford, Munchen, Wina, Roma, Johannseburg, New Delhi, Tokyo,
Manila, Princeton dan California. Beberapa kali memimpin penataran dosen
filsafat se Indonesia pada Universita Negeri Gajah Mada di Yogyakarta.
Buku-bukunya antara lain di terjemahkan kedalam bahasa Perancis, Jerman,
Inggris, Spanyol, Jepang, dan Korea. Yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia:
Badan – jiwa – roh, Itulah Tuhan, dan Strategi Kebudayaan.[8]
b. Pemikiran C.A. Van Peursen
Dalam filsafat
ilmu,dewasa ini, akal budi dan indera, atau teori dan keterberian pengalaman,
dua-duanya saling berjalin.[9]
Fakta-fakta dan pengalaman inderawi adalah masukan dari dunia kenyataan dalam
sebuah ilmu, sedangkan pengertian-pengertian akal budi lebih kepada upaya
konstruktif pengetahuan yang diterima dari dunia kenyataan. Pendekatan ilmiah
positivistik merupakan pendekatan yang berpangkal dari data empiri, yakni data
yang didapat dari hasil pengamatan ataupun dari fakta yang dinyatakan dengan
ungkapan (pengalaman). Namun ilmu formal tidak mengenai data empiris, akan
tetapi menjalin hubungan antara lambang-lambang, yang membuka kemungkinan
memakai data observasi yang telah diperoleh untuk “menghitung”( menyusun
penjabaran logis, dan deduksi).[10]
Bagaimana caranya orang dapat secara tepat mengetahui ciri-ciri deduksi,
merupakan satu masalah pokok yang dihadapi oleh filsafat ilmu. Dewasa ini pendirian
yang paling banyak dianut orang mengatakan bahwa deduksi ialah: penalaran yang
sesuai dengan hukum-hukum serta aturan-aturan logika formal; dalam hal ini
orang menganggap bahwa tidaklah mungkin titik-titik tolak yang benar
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak benar.[11]
Sehingga penyelesaian masalah-masalah dalam ilmu ilmu deduktif tidak seperti
ilmu-ilmu empirik yang menggunakan pengalaman, melainkan menggunakan penjabaran
dalil-dalil yang telah ada dan diperoleh sebelumnya.
Kemudian berangkat
dari sini timbulah pertanyaan yang bersifat metodologikal. Sebab, apakah orang
begitu saja dapat meletakkan perkaitan antara dua fakta sembarangan. Kita ingat
saja kuasi-hubungan yang pernah diletakkan secara statistikal: selama beberapa
tahun datang lebih banyak burung bangau bersarang di Elzas dan dalam
tahun-tahun itu juga ternyata jumlah kelahiran bayi meningkat. Bolehkah orang
disini menerapkan penalaran “jika..., maka...”? Hal dua gejala secara teratur
berlangsung secara bersamaan belum berarti memuat hubungan yang niscaya secara
logikal.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat ilmu adalah aktivitas berfikir secara radikal,
sistematik, dan universal yang bertanggung jawab atas suatu ilmu untuk mencari
sebuah kebenaran. Filsafat ilmu memiliki dua objek kajian yaitu objek kajian
formal dan material. Objek kajian formalnya adalah filsafat, sedang objek
kajian materialnya adalah ilmu pengetahuan. tujuan dari mempelajari filsafat
ilmu adalah agar kita mampu memahami, menjelaskan, dan mengintenalisasikan aspek-aspek
mendasar dan mendasar dari ilmu, baik aspek ontologi, epistemologi maupun
aksiologi dan mempraktekkannya dalam berbagai aktivitas keilmuan, khususnya
penelitian dan karya ilmiah.
Positivisme adalah sebuah pendekatan atau metode ilmiah
untuk mendapatkan kebenaran yang beranggapan bahwa kriteria tertinggi bagi
suatu diskusi rasional tentang pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan
pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif. Ilmu positif adalah ilmu-ilmu
yang yang hanya bersumber pada fakta fakta yang dapat dikonstatasi (ditetapkan)
sehingga muncul keajegan-keajegan yang dapat dikontrol oleh logika.
Kritik yang disampaikan C.A va Peursen mengatakan bahwa
hukum dan teori ilmiah tidak pernah dapat dikembalikan seluruhnyakepada data
pengalaman.
B.
Daftar Pustaka
Danial. 2014. Seri
Buku Dasar Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara.
Hartoko, Dick. 2001.
Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia.
J Drost. 1980. Susunan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.
Maksum, Ali. 2014. Pengantar
Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Siahaan, Dermon. “Tips Motivasi”. 21 Maret 2016. http://tipsmotivasihidup.blogspot.co.id/2013/05/manfaat-mempelajari-filsafat-ilmu.html.
Sidharta, B. Arif. 2014. Filsafat Ilmu. Malang : Universitas Brawijaya Press.
Soemargono, Soejono. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Tiara Wacana Jogja.
[1]
Ali Maksum. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Ar-Ruzz
Media, Yogyakarta, 2014, hlm.21.
[2]
Danial. Seri Buku Dasar Filsafat Ilmu. Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2014,
hlm.46-47.
[4]
Dermon Siahaan, Tips Motivasi,
http://tipsmotivasihidup.blogspot.co.id/2013/05/manfaat-mempelajari-filsafat-ilmu.html,
diakses 21Maret 2016, jam 00.13 WIB.
[5]
B. Arif Sidharta. Filsafat Ilmu ( terjemah dari buku
”Filosofie van de Wetenschappen” karangan C.A. van Peursen).Universitas
Brawijaya Press, Malang, 2014, hlm.27.
[6]
Ibid,.
[7]
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2001, hlm.86.
[8]
Dick Hartoko. Orientasi di Alam Filsafat ( terjemah dari buku “Filosifische
Orientatie” karangan C.A van Peursen). Gramedia, Jakarta, 1980,hlm.261.
[9]
B. Arif Sidharta. Filsafat Ilmu ( terjemah dari buku
”Filosofie van de Wetenschappen” karangan C.A. van Peursen).Universitas
Brawijaya Press, Malang, 2014, hlm.43.
[10]
J Drost. Susunan Ilmu
Pengetahuan( terjemah dari buku “De Opbouw van de Wetenschap” karangan C.A van
Peursen dkk. Gramedia, Jakarta, 1980, hlm.82.
[11]
Soejono Soemargono. Pengantar
Filsafat Ilmu ( terjemah dari buku “Inleiding tot de Wetenschapsleer” karangan
C.A van Peursen. Tiara Wacana Jogja, Yogyakarta, 1997, hlm.23.
[12]
B. Arif Sidharta. Filsafat Ilmu ( terjemah dari buku
”Filosofie van de Wetenschappen” karangan C.A. van Peursen).Universitas
Brawijaya Press, Malang, 2014, hlm.28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar